Selasa, 26 Mei 2009

1. GRASI
Dalam arti sempit berarti merupakan tindakan meniadakan hukuman yang telah diputuskan oleh hakim. Dengan kata lain, Presiden berhak untuk meniadakan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang.

2. AMNESTI
Merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana yang timbul dari tindak pidana tersebut. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah ataupun yang belum dijatuhi hukuman, yang sudah ataupun yang belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Amnesti agak berbeda dengan grasi, abolisi atau rehabilitasi karena amnesti ditujukan kepada orang banyak. Pemberian amnesti yang pernah diberikan oleh suatu negara diberikan terhadap delik yang bersifat politik seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.

3. ABOLISI
Merupakan suatu keputusan untuk menghentikan pengusutan dan pemeriksaan suatu perkara, dimana pengadilan belum menjatuhkan keputusan terhadap perkara tersebut. Seorang presiden memberikan abolisi dengan pertimbangan demi alasan umum mengingat perkara yang menyangkut para tersangka tersebut terkait dengan kepentingan negara yang tidak bisa dikorbankan oleh keputusan pengadilan.

4. REHABILITASI
Rehabilitasi merupakan suatu tindakan Presiden dalam rangka mengembalikan hak seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seorang tersangka tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini terletak pada nilai kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada Undang-undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya

HAK-HAK DPR

• Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan diduga bertentangan dengan perundang-undangan.

• Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

• Hak menyatakan pendapat, yang meliputi dua hal. Menyatakan pendapat tentang masalah besar di dalam dan di luar negeri dengan disertai rekomendasi menyikapi dan menyelesaikannya.

Jumat, 08 Mei 2009

Selamat Datang di Blog anak delapan eph


SEJARAH DEPERINGATINYA HARDIKNAS

HARI Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang diperingati , bertepatan dengan 2 Mei 2009, akan disambut dengan penuh suka cita, terkhusus bagi mereka yang bergelut di dunia pendidikan, mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga pendidikan tinggi. Mengapa? Dunia pendidikan adalah awal dari semua kebangkitan. Kebangkitan mampu dikokohkan hanya dengan pendidikan. Dalam sejarah panjang perjalanan kehidupan, telah diuraikan dalam filsafat, betapa pendidikan harus ditegakkan oleh para filsuf raja bila suatu negara yang dipimpimpinnya ingin ditumbuhkan dan disejahterakan sisi-sisi kehidupan warganya.
Bagi bangsa Indonesia, Hardiknas memang tidak terlepas dari peringatan hari lahirnya bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara, yang jangankan orang dewasa, anak Sekolah Dasar pun pasti tahu dan paham. Selama ini, kesan seremoni dalam peringatan Hardiknas memang sangat menonjol. Mulai dari kumpul di sebuah lapangan, rela berpanas-panasan, nyanyi-nyanyi, dengarkan pidato, selanjutnaya bubar. Tidak jelas, apa hakikat makna di balik peringatan Hardiknas tersebut.
Hardiknas memang identik dengan sosok Ki Hajar Dewantara atau yang lebih dikenal dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, yang sangat berjasa dalam memperjuangkan dunia pendidikan Indonesa sejak masa kolonial Belanda. Begitu pentingnya sosok yang satu ini, hampir setiap ada ujian sejarah, dipastikan ada pertanyaan tentang sosok Ki Hajar. Bahkan namanya diabadikan sebagai salah satu sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara, serta semboyannya yang paling terkenal yaitu "tut wuri handayani" yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU
Hardiknas tahun ini jangan dinodai dengan perbuatan yang tidak terpuji. Di pundak gurulah mestinya terpatri keteladanan, tidak terkecuali para guru, dan teristimewa diri pribadi Kepala Sekolah Dasar Negeri Donggala Kodi. Hanya dengan kejujuran dan keterbukaan, menjadi kunci satu-satunya menghindari dugaan, kecurigaan, dan juga tuduhan dari para guru lainnya. Mestinya, dalam penggunaan dana BOS jangan dilakukan secara bisik-bisik antara Kepala Sekolah dengan guru yang dianggap sama cara berpikirnya saja. Ajak semua, agar jangan ada di antara mereka yang menjadi stimulan dalam membuat gerakan yang pada akhirnya menghambat kelancaran proses belajar mengajar. Dan, ini jelas menjadi noda dan nokta menyongsong datangnya Hardiknas yang akan diperingati pada 2 Mei 2009 kemarin, sekaligus pengingkaran atas julukan Guru sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.**



Di dunia pendidikan nama KI HAJAR DEWANTARA memang tidak asing lagi di telinga kita untuk mengingat jasa-jasanya marilah kit baca sejenak sejarah bapak pendidikan di bawah ini

ing ngarso sung tulodo — di depan memberi teladan
ing madyo mangun karso — di tengah membangun karya
tut wuri handayani — di belakang memberi dorongan
Itulah tiga kalimat dari ajaran seorang ningrat Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Pelopor Perguruan Taman Siswa ini kemudian diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dan hari lahirnya 2 Mei (1889) diabadikan menjadi Hari Pendidikan Nasional oleh pemerintah pada tahun 1959.
Tidak hanya dalam bidang pendidikan nasional Ki Hadjar Dewantara pun sebelumnya aktif dalam masa pergerakan nasional di dalam organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1908 dan Indische Partij pada tahun 1912. Sebuah momen yang kita kenal menjadi Kebangkitan Nasional, dirayakan setiap 20 Mei. Bahkan pada tahun 1913 beliau secara politik aktif dalam menentang Perayaan Seratus Tahun Belanda dari Prancis melalui Komite Bumiputra. Ditentangnya perayaan tersebut adalah karena pihak Belanda memeras rakyat untuk kepentingan perayaan tersebut. Salah satu ucapannya yang ditulis dalam koran Douwes Dekker de Express adalah bertajuk Als Ik Eens Nederlander Was –Seandainya Aku Seorang Belanda–
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun.
Akibat tulisan tersebut beliau dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jendral Idenburg, namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda.






Membaca Ulang Fatwa Ki. Hadjar Dewantara
Menelusuri sisi kehidupan Ki. Hadjar Dewantara atau kalau public mengenal dengan Bapak Pendidikan Nasional yang hari kelahirannya 2 Mei di jadikan hari pendidikan nasional NKRI, dibalik semua penapsiran tentang isi dan ujar-ujar Ki. Hadjar Dewantara, sesungguhnya masih banyak inti ajaran yang membutuhkan penafsiran ulang terhadap intisari ajaran dan fatwa-fatwa beliau. Salah satu yang menjadi sorotan adalah sepuluh fatwa Ki. Hadjar Dewantara untuk hidup merdeka atau dalam bahasa KHD “fatwa akan sendi hidup merdeka”. Saya mengajak kita merenung dalam simpuh refleksi di hari pendidikan ini, tidak hanya melakukan seremonial upacara atau hanya mengagung-agungkan nama Ki. Hadjar Dewantara karena beliau tidak inginkan itu. Membaca ulang fatwa-fatwanya diharapkan kita akan pahami alur fikir dan kedalaman jiwa merdekanya. Mari kita telusuri:
Pertama, “Lawan Sastra Ngesti Mulya” yang berarti dengan ilmu kita menuju kemuliaan. Inilah yang dicita-citakan KHD dengan Tamansiswanya, untuk kemuliaan nusa, bangsa dan rakyatnya. Sastra Herdjendrajuningrat Pangruwating Dyu (ilmu yang luhur akan mulia menyelamatkan dunia serta melenyapkan kebiadaban), fatwa inilah yang menjadi Tjandrasengkala lahirnya Tamansiswa (1852-1922) sebagai masyarakat tanpa kelas.
Kedua, “Suci Tata Ngesti Tunggal” dalam arti dengan suci batinnya, tertib lahirnya menuju kesempurnaan, sebagai janji yang harus diamalkan oleh tiap-tiap peserta perjuangan Tamansiswa dan bangsa Indonesia. Fatwa ini sebagai Tjandrasengkala mencatat lahirnya persatuan Tamansiswa (Tahun 1853-1923).
Ketiga, “Hak diri untuk menuntut salam dan bahagia” berdasarkan asas Tamansiswa yang menjadi syarat hidup merdeka berdasarkan pada ajaran agama bahwa untuk Tuhan semua manusia itu pada dasarnya sama; sama haknya maupun kewajibannya. Sama haknya mengatur hidupnya serta sama haknya menjalankan kewajiban kemanusiaan, untuk mengejar keselamatan hidup lahir dan batinnya. Janganlah kita mengejar keselamatan lahir dan jangan pula hanya mengejar kebahagiaan batin hidup.
Keempat, “Salam bahagia diri tidak boleh menyalahi damainya masyarakat” sebagai sebuah peringatan, bahwa kemerdekaan diri kita dibatasi oleh kepentingan keselamatan masyarakat. Batas kemerdekaan diri kita ialah hak-hak orang lain yang juga seperti kita masing-masing yang sama mengejar kebahagiaan hidup. Segala kepentingan bersama harus diletakan diatas kepentingan diri masing-masing sebagai jalan keselamatan bersama.
Kelima, “Kodrat alam penunjuk untuk hidup sempurna” sebagai pengakuan bahwa kodrat alam yaitu segala kekuatan dan kekuasaan yang mengelilingi dan melingkungi hidup kita itu adalah sifat lahirnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang berjalan tertib dan sempurna diatas kekuasaan manusia. Janganlah hidup kita bertentangan dengan kodrat alam. Petunjuk dalam kodrat alam kita jadikan pedoman hidup, baik sebagai individu maupun sebagai bangsa dan anggota dari alam kemanusiaan.
Keenam, “Alam hidup manusia adalah alam berbulatan” artinya bahwa hidup kita masing-masing itu ada dalam lingkungan berbagai alam-alam khusus, yang saling berhubungan dan berpengaruh. Alam khusus yang terdiri dari alam diri, alam kebangsaan, alam kemanusiaan. Rasa diri, rasa bangsa dan rasa kemanusiaan ketiga-tiganya hidup dalam tiap-tiap sanubari kita masing-masing manusia. Adanya perasan ini tidak dapat dipungkiri.
Ketujuh, “Dengan bebas dari segala ikatan dan suci hati berhambalah kepada sang anak” mengandung arti penghambaan kepada sang anak tidak lain dari pada penghambaan kita sendiri. Sungguhpun pengorbanan itu kita tujukan kepada sang anak, tetapi yang memerintah kita dan memberi titah untuk berhamba dan berkorban itu bukan si anak, tetapi kita sendiri. Disamping itu kita menghambakan diri kepada bangsa, negara dan pada rakyat dan agama atau lainnya. Semua itu tidak lain penghambaan pada diri sendiri, untuk mencari rasa bahagia dan damai dalam jiwa kita sendiri.
Kedelapan, “Tetep-Mantep-Antep” artinya dalam melaksanakan tugas perjuangan kita, kita harus berketetapan hati. Tekun bekerja tidak menoleh kekanan dan kekiri. Kita harus tetap tertib dan berjalan maju. Kita harus selalu “mantep” setia dan taat pada asas kita, teguh iman hingga tak ada kekuatan yang akan dapat menahan gerak kita dan membelokan aliran kita. Sesudah kita tetap dalam gerak lahir dan mantep dan tabah batin kita, segala perbutan kita akan “antep”, berat berisi (bernas) dan berharga. Tidak mudah dihambat, ditahan-tahan dan dilawan oleh orang lian.
Kesembilan, “Ngandel-Kendel-Bandel-Kandel” dalam arti kita harus ‘ngandel’ percaya dan yakin kepada kekuasaan Tuhan dan percaya kepada diri sendiri. ‘kendel’ berani, tiada ketakutan dan was-was oleh karena kita percaya keada Tuhan dan kepada diri sendiri. ‘bandel’ yang berarti tahan dan tawakal. Dengan demikian maka kita jadi ‘kandel’ tebal, kuat lahir bati kit, berjuang untuk cita-cita kita.
Kesepuluh, “Neng-Ning-Nung-Nang” artinya dengan ‘meneng’ tentram lahir batin, tidak ragu dan malu-malu, tahap selanjutnya kita ‘ning’ wening, bening jernih, pikiran kita, mudah membedakan yang hak dan yang batil (benar-salah) maka kita jadi ‘nung’ hanung, kuat sentosa, kokoh lahir dan batin untuk mencapai cita-cita. Akhirnya ‘nang’ menang, dan dapat wewenang, berhak dan kuasa atas usaha kita.
Kesepuluh fatwa hidup KHD itulah yang seharusnya diketahui dan diamalkan khusunya bagi wong Tamansiswa dan masyarakat Indonesia yang berharap NKRI tetap berkibar. Ki. Hadjar Dewantara dan Tamansiswanya hingga kini tetap menyerukan dan mengawal agar bangsa dan negara ini tidak terjerumus pada syariat-syariatan dari agama apapun, toh ketika syariat demokrasi diterapkan di negeri inipun sebagai warga bangsa kita harus tetap belajar dan membaca ulang apa sesungguhnya yang dipetik dari sebuah demokrasi ini. Realitasnya kini anak-anak bangsa hasil didikan pendidikan yang kian liberal dan bebas bablas melahirkan Rasisme seperti ditunjukan oleh kelompok-kelompok/front-front atau golongan-golongan cengeng di beberapa daerah dan berdampak pada sikap a moral, anarkisme, radikalisme yang dilakukan sebahagian anak-anak bangsa ini. Pendidikan yang ditanam KHD sesungguhnya menekankan pada sisi humanis, sisi sosial kemanusiaan dalam bahasa KHD bahwa pendidikan berarti daya-upaya untuk memajukan, bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tubuh anak, sehingga terbentuknya kesempurnaan hidup yang selaras dan serasi dengan dunianya. Terakhir saya teringat pada salah satu kata Ir. Soekarno yang mengatakan “Bersatulah hai rakyat Indonesia, sebagaimana selalu dianjurkan oleh Ki. Hadjar Dewantara” dan tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Monumen Jogja Kota Pendidikan yang berbunyi “Seperti Kuntum Padma di Tamansari ‘engkau kembang dan menyala di kalbu pertiwi’, cipta, rasa, karsa ……juga keluhuran budi menggema diseluruh persada nusantara”. Ki. Hadjar selalu berpesan bersatulah anak-anak bangsa untuk hidup merdeka dan belajarlah pada masa lalu dalam menjaga keutuhan NKRI.


Sepulang dari pengasingan di Belanda –yang beliau gunakan juga untuk memperdalam ilmu– ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa –Perguruan Nasional Tamansiswa– pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Dari sinilah lahir konsep pendidikan nasional, hingga Indonesia merdeka Ki Hadjar Dewantara pun menjadi Menteri Pendidikan dan meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta.
Itulah sejarah tentang bapak pendidikan Indonesia semoga nama dan jasa-jasanya dikenang hingga akhir jaman